INDONESIA: Pelaksanaan SDGs Harus Satu Nafas dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pada 25 September 2015, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi berjudul “Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development.” Selang dua tahun kemudian, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

“No one left behind” merupakan prinsip utama pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Hal ini menandakan prinsip non-diskriminasi dan tidak meninggalkan siapapun termasuk kelompok rentan, diantaranya korban pelanggaran HAM masa lalu, masyarakat adat, dan kelompok minoritas agama, yang secara khusus terdapat pada SDGs Tujuan Nomor. 16 “Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh”.

Warisan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa kediktatoran Presiden Suharto pada tahun 1966 hingga 1998, menjadi pekerjaan rumah yang tidak selesai hingga saat ini. Kasus tersebut antara lain kasus pembantaian masal 1965-1966, kasus penembakan misterius 1981-1983, kasus pembantaian Tanjung Priok 1984, Kasus Talangsari Lampung 1989, kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi 1998-1999, dan kasus penculikan aktivis 1997-1998.

Selain itu masih ada kasus pelanggaran HAM semasa penerapan operasi militer di Provinsi Aceh pada tahun 1989 sampai 1998 dan terakhir penerapan darurat militer pada tahun 2003.

Sementara itu, untuk situasi hak asasi manusia di Provinsi Papua dan Papua Barat, hingga saat ini beragam kasus kekerasan masih kerap terjadi, sebut saja penyadapan, intimidasi dan pelecehan rasial, pembubaran protes, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang dan pembunuhan diluar prosedur hukum masih terjadi. Sementara terhadap warga Papua diluar Papua juga tidak luput dari sasaran, misalkan penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan penangkapan serta pembubaran paksa aksi protes damai masasiswa dan aktivis Papua di Jakarta pada bulan Oktober 2019.

Kriminalisasi terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum dengan menggunakan UU ITE, salah satunya adalah kasus I Gede Ari Astina, alias Jerink, seorang drummer dari group musik Superman is Dead (SID) yang saat ini masih ditahan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Bali.

Kasus lain yang juga masih marak terjadi adalah penodaan agama. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat hingga Mei 2020 terdapat 38 kasus penodaan agama di Indonesia. Ada tren pihak yang dilaporkan terbanyak berusia 18 tahun karena bermain tik tok. Sementara itu, untuk kasus penodaan agama sekarang menyasar anak-anak usia 14 hingga 16 tahun dan orang Pasal yang sering dijeratkan umumnya ada 3, yakni Pasal 156a KUHP, Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang Ormas, dan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45a Ayat (2) UU ITE.

AHRC memandang penting bahwa keseriusan pemerintah Indonesia untuk menjalankan SDGs Nomor 16 tentang akses keadilan, perdamaian yang kuat harus selaras dan senafas dengan pelaksanaan kebijakan tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah Indonesia harus membuka diri terhadap reformasi peradilan, kemudahan dan kepastian hukum untuk para pencari keadilan khususnya para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah puluhan tahun berjuang untuk mendapatkan hak.

Selain itu, penguatan institusi selain peradilan juga penting untuk dilakukan yaitu penguatan terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, penguatan terhadap peran Ombudsman Republik Indonesia, penguatan terhadap peran Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia serta optimalisasi peran lembaga pengawas seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus tetap dipastikan berjalan.

Selanjutnya AHRC mendesak kepada pemerintah Republik Indonesia untuk memastikan penghukuman untuk para pelaku, memastikan tidak ada impunitas dan memastikan bahwa hak para korban harus diberikan tanpa penundaan. Apabila hal ini dilakukan dengan baik dan sesuai standar hukum HAM Internasional, maka pelaksanaan SDGs di Indonesia akan membawa manfaat bagi kemajuan peradaban ekonomi, hukum dan kemanusiaan di Indonesia.