INDONESIA: Defisit Abolisi Hukuman Mati di Indonesia dengan Tren Global Menuju Penghapusan Hukuman Mati 

Pernyataan bersama KontraS, LBH Masyarakat, LeIP, YLBHI, Imparsial, LBH Jakarta, Mappi dan Asian Human Rights Commission

Menyambut satu dekade Peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober 2012 Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati Indonesia menyambut baik adanya tren global penghapusan hukuman mati yang berkembang secara signifikan. Dalam catatan yang dikeluarkan Hands Off Cain Info menegaskan bahwa sekitar 155 negara telah menghapus kebijakan hukuman mati dalam sistem hukum maupun praktiknya, di mana 99 negara telah menghapuskan kebijakan hukuman mati untuk semua kategori kejahatan (keseluruhan), 44 negara telah menghapuskan kebijakan hukuman mati dalam praktiknya (de facto abolisionis) dan 7 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa (ordinary crimes), dan 5 negara telah melakukan penundaan (moratorium) eksekusi di tempat. Di tingkat Indonesia sendiri tahun ini merupakan tahun keempat di mana tidak terjadi eksekusi mati.

Dalam satu dekade ini Amerika Serikat yang dikenal luas masih mempertahankan kebijakan hukuman mati dalam sistem hukumnya bahkan telah menunjukkan suatu kemajuan khusus, ketika 17 negara bagiannya telah menghapus praktik hukuman mati. Bahkan hanya sekitar 78 putusan hukuman mati yang dikeluarkan pada tahun 2011. Angka ini jauh lebih sedikit ketimbang angka rata-rata 280 putusan hukuman mati yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat antara tahun 1980an dan 1990an (Amnesty International, 2011). Bahkan pembaharuan kebijakan hukuman mati di China juga diterapkan sejak 2011 kepada 13 kategori kejahatan ekonomi dari daftar 68 kejahatan yang dapat diterapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati juga tidak bisa dilakukan kepada mereka yang berusia di atas 75 tahun (World Coalition, 2012).

Adanya pergeseran positif dalam menata kembali criminal justice system di tingkat global seharusnya bisa mendorong Pemerintah Indonesia untuk menggunakan tren ini dalam menata kembali sistem penegakan hukum yang ada. Menariknya terobosan ini diciptakan poleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusan No. 39 PK/Pid.Sus/2011 yang pada pokoknya membatalkan putusan kasasi yang menjatuhkan hukuman mati kepada Hengky Gunawan atas kepemilikan pabrik ekstasi. Putusan ini menitikberatkan adanya pertentangan konsep hukuman mati dengan kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) –termasuk di dalamnya hak atas hidup-. Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Putusan ini kemudian dipertegas pada Bulan Oktober 2012 ketika MA menyatakan bahwa pidana mati pada kasus Hengky Gunawan adalah inkonstitusional. Langkah progresif ini patut diapresiasi dan menjadi catatan kemajuan besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Perdebatan boleh tidaknya hukuman mati diterapkan juga tidak boleh meniadakan adanya lebih dari 100 orang yang masih menunggu proses eksekusi hukuman mati hasil di berbagai tingkat putusan pengadilan. Di mana kebanyakan dari kasus ini merupakan kasus kejahatan yang terkait dengan praktik kejahatan narkotika dan sekitar 80% di antara narapidana hukuman mati tersebut adalah warga negara asing (kasus Bali Nine maupun yang terbaru Julian Anthony Ponder dan Lindsay June Sandiford, 2012). Selain itu, ancaman hukuman mati juga mengancam buruh migran Indonesia di berbagai negara juga masih belum menjadi perhatian krusial bersama, termasuk jumlah pasti terpidana mati beserta data rincinya. Bahkan dalam kasus terdakwa terorisme Aceh Usria dan Muhammad Sulaiman, keduanya diancam vonis hukuman mati dengan Pasal 15 jo. Pasal 6, 7, dan 9 UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang masih menggunakan hukuman mati.

Himbauan moratorium global melalui Majelis Umum PBB yang digelar sejak tahun 2007, 2008 dan 2010, yang kemudian kelak akan diselenggarakan kembali pada Desember 2012 adalah salah satu upaya untuk mendorong realisasi komitmen bersama untuk menghapus praktik hukuman mati bersama. Indonesia sebagai salahsatu negara yang masih menerapkan kebijakan hukuman mati pada kategori kasus kejahatan pidana terorisme, narkotika, korupsi dan lain sebagainya harus membuat terobosan positif dan tidak terjebak pada jargon politik praktis pejabat negara maupun politisi yang masih kerap menggunakan pendekatan hukuman mati untuk meraih simpati publik.

Publik juga harus bisa memahami bahwa efek jera yang ingin dihadirkan melalui putusan-putusan hukuman mati juga tidak serta merta efektif mencegah ataupun mengurangi angka kriminalitas di tengah masyarakat. Pencabutan hak atas hidup melalui legalisasi hukuman mati tidak akan pernah menjadi solusi penegakan hukum.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati mendesak:
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghapuskan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pidana dalam sistem hukum di Indonesia atau, paling tidak, memberlakukan moratorium hukuman mati;
2. Seluruh badan peradilan dan para hakim di Indonesia untuk menghentikan penjatuhan hukuman mati dan memasukkan pertimbangan hak asasi manusia sesuai dengan standar internasional di dalam perkara-perkara pidana yang diperiksa;
3. Selama belum dihapuskannya hukuman mati dari sistem pemidanaan di Indonesia, Pemerintah perlu memastikan pemenuhan hak setiap terpidana mati atas proses grasi yang bermakna. Ketentuan di dalam UU No. 5 tahun 2010 yang menjadikan proses permohonan grasi menjadi terlalu terbatas harus diubah sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Jakarta, 9 Oktober 2012
Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati

KontraS, LBH Masyarakat, LeIP, YLBHI, Imparsial, LBH Jakarta, Mappi, Asian Human Rights Commission

Document Type : Statement
Document ID : AHRC-STM-195-2012-ID
Countries : Indonesia,
Issues : Death penalty,