INDONESIA: Kebebasan beragama tidak dilindungi

Sebuah pernyataan dari Asian Human Rights Commission

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dijadwalkan akan mengunjungi Indonesia, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya, pada bulan Maret tahun ini. Penting bagi Obama untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan memanfaatkan hubungan baiknya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengangkat isu mengenai toleransi umat beragama di Indonesia.

Pada penghujung tahun lalu Obama menyatakan bahwa “Indonesia merupakan negara penting…karena merupakan salah satu negara demokrasi terbesar, dan juga salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia… Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar…  merupakan contoh potensial dalam hal strategi pembangunan, strategi demokrasi, dan juga strategi antar-kepercayaan yang tentunya akan menjadi sangat penting di masa yang akan datang.

AHRC-STM-032-2010.jpg

Meski pernyataan tersebut tidak diragukan dalam beberapa hal, esensi pernyataan Obama itu nampaknya bertentangan dengan situasi hari ini yang terjadi di Indonesia.

Selama beberapa tahun terakhir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyampaikan kekhawatiran akan diskriminasi dan kurangnya toleransi antar umat beragama di negara tersebut, Ada kekhawatiran, misalnya, terhadap pembedaan atas dokumen-dokumen hukum di antara enam agama yang diakui oleh negara yakni Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu, dan dampak negatifnya terhadap kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama mereka yang termasuk sebagai minoritas, kelompok etnis, dan masyarakat adat di Indonesia. (foto: Carolincik, 2008, Yogyakarta, flickr)

Pada tahun 2007, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa kawin campur antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama sulit untuk dicatatkan secara resmi dan juga anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan demikian akan sulit untuk mendapatkan akta kelahiran karena mereka dianggap sebagai hasil dari perkawinan yang ‘melawan hukum’. Tetapi sekalipun seseorang hendak mengganti agama atau kepercayaannya supaya dapat menikah dengan pasangannya yang berbeda agama, ia pun harus siap berhadapan dengan stigmatisasi buruk masyarakat.

Terlebih lagi, tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa individu yang tidak memeluk satu agama atau kepercayaan dapat menikah, dan tidak ada dokumen hukum yang mungkin tersedia untuk mereka yang memilih untuk tidak berkeyakinan tersebut. Hal ini mengakibatkan banyak orang merahasiakan ke-atheis-annya dan ketika mereka hendak menikah, mereka harus memilih entah itu antara menikah dengan menjalani ritual keagamaan yang sama sekali tidak mereka percayai, atau itu memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.

Selain itu, dalam UU No.23 Tahun 2006 mengenai Administrasi Kependudukan, individu diwajibkan untuk mencantumkan kepercayaan mereka dalam dokumen hukum seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Atheis yang tentunya tidak memiliki agama, mereka yang ingin untuk tidak mencantumkan apa yang menjadi keyakinannya, dan mereka yang memiliki kepercayaan di luar enam agama yang ‘diakui’ lantas mengalami diskriminasi, termasuk harus mengalami penolakan dari banyak tempat kerja.

Memaksa seseorang untuk memeluk agama sebagai bagian dari identitasnya telah mencederai haknya atas kebebasan berpikir dan memeluk agama sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Perhatian terhadap masalah agama minoritas telah banyak disampaikan baik di Indonesia maupun di tingkat internasional, misalnya dalam kasus Ahmadiyah yang menjadi target kelompok fundamentalis yang mencap mereka sebagai kelompok menyimpang. Asian Human Rights Commission dan banyak organisasi hak asasi manusia lainnya telah menyoroti serangan dan intimidasi terhadap pemeluk Ahmadiyah dan kelompok agama lainnya serta terhadap rumah ibadah mereka. Akan tetapi hingga saat ini belum ada usaha cukup yang dilakukan guna melindungi hak-hak dari kelompok tersebut.

Sebaliknya, ketidaktoleransian dalam kehidupan beragama dan diskriminasi malah didukung dengan keberadaan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menambahkan satu ketentuan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni pasal 156 huruf a, yang mengizinkan negara untuk menuntut pihak yang melakukan penodaan yang “pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Adapun ancaman pidana yang dapat dikenakan terhadap kejahatan ini ialah maksimal lima tahun penjara.

Untuk memerangi undang-undang tersebut dan juga ketidaktolerasian dalam kehidupan beragama yang dilakukan oleh institusi negara, beberapa kelompok hak asasi manusia mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan harapan bahwa MK akan menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan beragama.

Akan tetapi, aparat pemerintah bereaksi menentang permohonan pengujian undang-undang tersebut. Mereka menyatakan apabila Mahkamah mendukung kebebasan beragama dan berekspresi sebagaimana dijamin oleh hukum nasional dan internasional dan juga menjadi salah satu prinsip Pancasila, hal tersebut akan menciptakan ‘kebebasan beragama yang tanpa batas’. Mereka khawatir hal ini akan menimbulkan gangguan sosial, di mana orang akan beribadah dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh negara. Ketidaktoleransian yang demikian tentunya bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945.

Dengan hanya mengakui enam negara dan memberlakukan UU Penodaan Agama yang mengucilkan dan mengkriminalisasi mereka yang memiliki kepercayaan diluar dari enam yang diakui tersebut, negara telah memaksa warga negaranya untuk memilih satu dari keenam agama tersebut. Hak untuk memilih di antara satu atau hanya beberapa pilihan hanya merupakan wujud dari kebebasan yang semu. Ilusi semata.

Baik Presiden Obama maupun Presiden Yudhoyono tentunya memahami dengan sangat baik bahwa toleransi dan penerimaan terhadap beragamnya kepercayaan, termasuk atheis, merupakan elemen penting atas terciptanya masyarakat yang damai dan demokratis.

Praktik dan peraturan yang mensyaratkan orang untuk memeluk agama walaupun sebenarnya orang tersebut tidak benar-benar mempercayainya tidaklah bersesuaian dengan prinsip toleransi, kesamaan hak dan non diskriminasi yang merupakan batu penjuru demokrasi dan hak asasi manusia.

Undang-undang manapun yang bicara mengenai penodaan agama haruslah diakui sebagai inkonstitusional. Agama-agama yang konon hendak dilindungi oleh UU Penodaan agama nyatanya bisa mempertahkan diri terhadap kritik dan tidak membutuhkan paksaan pidana untuk membuat pemeluknya tetap setia. Tidak ada satu negara pun yang berhak mengintervensi praktik agama maupun kepercayaan selain menjamin adanya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpikir, termasuk pula hak untuk tidak beragama.

Sebagai negara demokratis yang selalu bangga dengan multikulturalisme, multi-agama, dan multi-rasial, pemerintah Indonesia sudah sepantasnya menyambut baik permohonan pengujian undang-undang ini dan mengeluarkan peraturan yang melarang diskriminasi berdasarkan agama.
Sebagai negara yang demokratis yang mengakui prinsip rule of law dan menjunjung tinggi konstitusinya, Indonesia harus memberikan perlindungan terhadap agama-agama minoritas dari tirani yang ingin melanggengkan ketidaktoleransian dan diskriminasi.

# # #

Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.

Document Type : Statement
Document ID : AHRC-STM-032-2010-ID
Countries : Indonesia,